
Myspace Graphics and Myspace Layouts
Kita seringkali mendengar banyak berita di TV atau media massa lainnya perihal banjir. Memasuki musim hujan beberapa bulan yang lalu, kejadiannya bahkan lebih parah. Hampir beberapa daerah di Indonesia tergenang banjir. Entah itu di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali dan pulau-pulau lainnya. Lahan pesawahan, peternakan, perikanan dan pemukiman tak luput dari “kutukan” kelebihan air ini. Yang tak kalah tragisnya, Jakarta sebagai ibukota negara kita harus menerima pil pahit karena daerahnya tergenang banjir hanya karena hujan beberapa jam saja. Entah apa namanya: banjir kiriman, banjir air pasang atau banjir apa lagi. Betapa tragisnya negeri kita ini. Tak terbayang berapa banyak kerugian yang diderita akibat bencana ini? Apakah ini murni bencana alam ataukah bencana (akibat ulah) manusia?
Kata para ahli, jumlah air di bumi kita ini sebenarnya tetap, tidak bertambah atau berkurang sedikitpun. Loh kok bisa? Hal ini dikarenakan air mengalami suatu daur yang disebut siklus hidrologi. Perlu diketahui, air tidak selalu berwujud dalam bentuk cair. Ada es dan salju yang berbentuk padat, juga uap air yang berwujud gas. Inilah yang menjadikan air di bumi ini jumlahnya tetap. Yang membuatnya berbeda adalah wujud & jumlah komposisinya baik dalam bentuk padat, cair atau gas. Selain itu, terdapat proses-proses yang terjadi pada air itu sendiri seperti misalnya es yang mencair, uap yang berubah menjadi cair dan seterusnya.
Banyak orang menduga, Global Warming yang dibicarakan banyak orang saat ini adalah penyebab utama terjadinya banjir? Iklim sudah berubah menjadi lebih panas, katanya. Es yang mencair akibat pemanasan global ini tentu saja akan menambah muka air laut. Akibatnya banyak pulau-pulau kecil yang tenggelam. Namun perlu diketahui, proses ini berlangsung sangat lama. Proses tersebut dipercepat akibat ulah manusia.
Mengenai penyebab terjadinya banjir ini, saya mempunyai beberapa pendapat. Memang benar, pemanasan global merupakan salah satu penyebab banjir. Tetapi hal ini tidak terlalu siginifikan karena sebenarnya proses alamiahnya berlangsung dalam jangka waktu yang sangat lama. Yang menjadi masalah pokok menurut saya adalah proses-proses jangka pendek yang berlangsung dengan cepat akibat ulah manusia. Proses jangka pendek itulah yang terakumulasi yang kemudian menjadi dampak serius terjadinya banjir.
Salah satu contohnya adalah perubahan tata guna lahan. Banyak lahan-lahan terbuka (seperti hutan, pesawahan dan sejenisnya) yang beralih fungsi. Hutan dibabat habis, banyak sawah diganti jadi pemukiman. Padahal kita tahu, kalau hutan dan pepohonan itu terbukti efektif menyimpan air. Fungsinya ganda, jika curah hujan melimpah, maka tanaman akan segera menyerapnya. Namun jika curah hujan rendah, jadilah tanaman sebagai cadangan air yang berguna. Slogan-slogan untuk menyelamatkan lingkungan hutan nyatanya tidak efektif jika tidak ada kesadaran dari kita, sebagai manusia yang diberi amanah oleh Tuhan menjaga bumi ini. Tidak jarang kita dengan, hanya demi keuntungan yang tidak seberapa, para decision maker rela membuat kebijakan yang tidak pro lingkungan. Jika tidak percaya, coba saja hitung, berapa banyak daerah resapan air di kota? Hampir tidak ada, karena semua banyak beralih fungsi menjadi pemukiman, pabrik, dan sejenisnya. Tanah banyak yang telah di aspal dan semen, sehingga penyerapan air hujan oleh tanah tidak berlangsung dengan optimal.
Penyebab yang kedua adalah drainase yang buruk. Kita harusnya mencontoh model pembangunan drainase yang dilakukan penjajah Belanda dulu. Saluran-saluran air dibuat besar-besar dengan harapan air dapat mengalir lancar. Saya jadi teringat pemandangan di film-film kartun luar negeri (seperti misalnya “Kura-kura Ninja”) yang memperlihatkan bahwa di bawah jalan raya ternyata ada saluran air yang cukup besar, sampai-sampai bisa dilalui oleh orang. Tujuannya adalah agar air mengalir dengan baik walaupun dalam jumlah yang cukup banyak. Coba lihat sekarang di sekitar kita. Hampir kebanyakan, saluran air yang dibuat saat ini adalah menggunakan pipa paralon yang berukuran kecil. Drainase tidak optimal menjalankan fungsinya. Apalagi jika saluran itu macet karena tertimbun sampah. Ditambah tanah yang sudah di aspal. Ketika hujan datang (walau beberapa jam saja), air akan menggenang di bebasnya, dan terjadilah banjir.
Penyebab yang ketiga adalah kebiasaan buang sampah sembarang. Di negeri ini, memang terdapat aturan dari pemerintah yang mewajibkan masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Bagi yang melanggar akan didenda. Tapi tetep aja tidak dijalankan, terutama dari pihak yang berwenang. Hukum tidak dijalankan dengan tegas. Ditambah lagi kebiasaan kita yang tidak merasa berdosa buang sampah sembarang. Jadilah kebiasaan ini membawa dampak buruk dikemudian hari. Oh ya, jumlah sampah yang diproduksi oleh rumah tangga juga ternyata sangat besar loh. Bayangkan saja, di Jakarta sendiri, rata-rata menghasilkan sampah sebanyak 6000 ton perharinya. Bagaimana jika sebulan, setahun, sepuluh tahun yang akan datang? Jika tidak ada teknologi yang tepat guna (daur ulang dan semacamnya), masalah ini akan menjadi masalah yang sangat besar. Saya jadi inget film kartun lucu, The Simpsons. Pada salah satu episode yang memperlihatkan sebuah desa yang tenggelam gara-gara kebanyakan sampah yang menggunung.
Sekali lagi, kita analisis. Saluran air yang kecil, ditambah sampah yang menggunung. Sudah pasti jika dibuang sembarangan, sampah akan menyumbat saluran air. Ketika curah hujan besar (sebenarnya rata-rata curah hujan dimusim penghujan memang segitu kok, seharusnya tidak akan menyebabkan banjir), saluran macet, air tidak akan diserap tanah karena semuanya sudah di “semen”, lalu kemana air akan mengalir??? Ya… ke pemukiman penduduk. Jadilah banjir. Dan kebanyak dari kita hanya bisa berteriak saling menyalahkan. Tidak ada yang introspeksi, merenungi kesalahan diri sendiri. Kenapa ini bisa terjadi? Masalah banjir bukan hanya tanggung jawab sesorang atau suatu instansi tertentu. Tetapi merupakan tanggung jawab bersama, yang saling bersinergi satu dengan yang lain. Kerjasama yang baik dari pemerintah dan masyarakat tentunya.
Akhirnya, semuanya kembali pada diri kita sendiri. Jika penyebab-penyebab tersebut tidak segera kita benahi, bukan tidak mungkin ramalan Jayabaya di atas akan terbukti. Tinggal kita bertindak, kapan untuk bertindak menyelamatkan bumi ini dari kehancuran? Hari ini, esok atau entah kapan, anda sendiri yang akan melakukannya!
Mungkin temen-temen punya usul untuk mengatasi masalah banjir ini??
Gempa Bumi (Earthquake) di Padang, Sumatra Barat (West Sumatra), Indonesia,
Special Report
Jumat, 2 Oktober 2009 | 07:59 WIB
PADANG, KOMPAS.com — Sedikitnya 1.100 oran
g tewas dan ratusan lain terluka parah akibat gempa dahsyat di Sumatera dan diperkirakan korban tewas akan terus bertambah.
Data korban terbaru ini diungkapkan Kepala Urusan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) John Holmes kepada wartawan dan dilansir Associated Press. "Jumlah ini saya takutkan akan bertambah. Ribuan orang masih terjebak di reru
ntuhan rumah dan banyak gedung," kata Holmes.
Fasilititas telekomunikasi sulit menjangkau wilayah gempa dan jalan-jalan rusak sehingga tim evakuasi kesulitan untuk menyampaikan data korban gempa. Hujan lebat yang mengguyur kota Padang dan sekitarnya juga menyulitkan tim evakuasi bergerak.
Rustam Pakaya, kepala Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan, Kamis, juga mengatakan, ribuan orang kemungkinan besar masih
terjebak di reruntuhan gedung dan rumah. Diperkirakan korban tewas akibat gempa di Sumatera sebesar korban tewas dalam musibah gempa Yogyakarta tahun 2006 lalu yang menewaskan sekitar 5.000 orang.
Sumber Berita : kompas.com
=====
Photo-Photo Exclusif, Property
of Associated Press (AP) for www.KOMPAS-TV.com
An Indonesian family takes shelter from the rain under the remaining roof of their house ruined by an earthquake in Sungai Sirah, West Sumatra, Indonesia, Thursday, Oct. 1, 2009. A second powerful earthquake rocked western Indonesia on Thursday as rescuers struggled to reach survivors of the previous day's temblor, which killed hundreds and left thousands trapped under collapsed buildings. (AP Photo/Tundra Laksamana)